ULAMA' AHLI ASTRONOMI KUDUS
![]()  | 
Keagungan dan  kemasyhuran ulama kharismatik dari Kudus, yang telah berpulang ke rahmatullah  20 Agustus 1999, KH. Turaichan Adjuhri As-Syarofi (Tadjus Syarof)  begitu tinggi. Beliau ahli dalam ilmu syari’ah, khususnya pada ilmu fiqih  namun lebih dari itu beliau juga ahli ilmu-ilmu falakiyah (astronomi),  mulai dari penetatapn awal bulan hijriyyah, adanya gerhana, bahkan dapat  mengetahui letak, warna, ukuran dan jarak bulan dari garis horisonatal  bumi, dengan keahlian perhitungannya. Beliau juga mengetahui ilmu-ilmu  perhitungan yang bernuasnsa Jawa (pranoto mongso)
itupun tidak sekedar tahu, melainkan sangat mahir. Namun beliau tidak ambil banyak manfaat pengetahuan pranoto mongso tersebut, melainkan hanya sebagai sarana pelengkap untuk menyusun almanak, hasil karyanya yang dicetak oleh penerbit dan percetakan Menara Kudus, yang hingga saat ini masih selalu diambil manfaatnya oleh banyak kalangan, bukan hanya di Kudus saja tapi sampai ke penjuru tanah air.
itupun tidak sekedar tahu, melainkan sangat mahir. Namun beliau tidak ambil banyak manfaat pengetahuan pranoto mongso tersebut, melainkan hanya sebagai sarana pelengkap untuk menyusun almanak, hasil karyanya yang dicetak oleh penerbit dan percetakan Menara Kudus, yang hingga saat ini masih selalu diambil manfaatnya oleh banyak kalangan, bukan hanya di Kudus saja tapi sampai ke penjuru tanah air.
Mbah Tur, demikian  sapaan akrab beliau lahir pada 10 Maret 1915 M di Damaran Kudus.  Keturunan dari pasangan KH. Adjuhri dan Ibu Nyai Sukainah, mbah Tur dari  kecil telah nampak sebagai sosok yang cerdas dan tegas. Hal itu  terlihat ketika berusia kurang dari 15 tahun, tepatnya umur 13 tahun,  mampu mengajar di kelas tingkat atas dengan penghormatan penuh dari  santri-santrinya, tepatnya di madsarah TBS (Tasywiqut Thullab Salafiyah)  Kudus. Bahkan sedari usia 15 tahun, beliau telah mewarnai  muktamar-muktamar NU, dan sering beradu argumentasi dengan para kiai  yang jauh lebih tua usianya terutama dalam analisis mengenai penetapan  hukum yang hakiki dalam muktamar. Seperti halnya dengan KH. Bisri  Syamsuri al marhum almagfurillah (Jombang) dan lain sebagainya
.
.
Banyak kalangan menyebut  bahwa beliau adalah keturunan ke 16 Sayyid Ja’far Shodiq (Sunan Kudus).  Namun dari pihak keluarga keberatan untuk menerangkan keabsahan masalah  tersebut.
Tidak seperti  ulama-ulama besar pada umumnya, mbah Tur dalam menempuh studi tidak  pernah mondok di pesantren tertentu. Pendidikan formal beliau  hanya sekolah di Madrasah TBS, itupun hanya berlangsung kira-kira 2  tahun, sekitar tahun 1928 M. tepatnya saat madrasah TBS berdiri, hingga  tahun 1930 M. Sedangkan di luar jalur formal, beliau berguru kepada  ulama-ulama Kudus, seperti kiai Fauzan (alm), Kiai Ma’shum (alm) ayah  dari kiai Fauzan, Kiai Muslih (alm) yang merupakan akak dari kiai Amin  said (alm) dan masih banyak guru-guru yang lain.
Kiprahnya bukan hanya  dalam bidang sosial agama saja, melainkan juga dalam bidang sosial  politik. Seperti dalam jajaran jam’iyyah NU, beliau pernah ditunjuk  sebagai panitia ad hoc pusat, juga pernah sebagai Syuriah  Cabang Kudus, bahkan pernah menjabat sebagai qodli (hakim)  pusat dan juga di Kudus. Sekitar tahun 1955 M hingga tahun 1971 dalam  jajaran pemerintahan.
Selain karir-karir di  atas mulai dari mengajar, menjadi mustasyar dalam Muktamar NU,  menjadi Tim Lajnah Falakiyah di NU beliau juga pernah ditunjuk sebagai  tim Rukyah dan Hisab oleh Departemen Agama dalam penetapan awal bulan  Hijriyyah yang akhirnya dilimpahkan kepada putra bungsunya Drs.  Sirril Wafa, MA yang sedang menuntaskan studi untuk gelar doktornya di  Jakarta. Amanat tersebut ditekuni oleh putranya hingga sekarang.
Dalam muktamar-muktamar  NU, mbah Tur hampir tak pernah absen kecuali kalau ada udzur, namun  akhir-akhir beliau sering tidak muncul karena alasan kesehatan. Di  samping usia yang semakin lanjut, juga karena beda perspektif tentang  perubahan asas tunggal NU dari asas ahlussunnah wal jama’ah  menjadi asas tunggal Pancasila. Paska itu beliau tidak lagi aktif dalam  kegiatan NU pusat, bahkan mbah Tur mengklaim pribadinya dengan istilah  “lokalitas NU” artinya tetap konsis dalam jam’iyyah NU namun hanya  bersifat lokal saja, di Kudus, dan tetap berideologi ahlussunnah wal  jama’ah.
Sosok pendiam namun  tegas tidak banyak dijumpai, itulah kepribadian mbah Tur, bahkan  beliaupun tidak meninggalkan pesan ataupun wasiat khusus kepada  keluarganya menjelang pulang ke rahmatullah. Dan selama masih  hidup pun beliau tidak pernah memaksa keluarganya untuk menekuni profesi  tertentu, bahkan memberikan kebebasan kepada putra-putrinya utuk  menentukan pilihan asalkan tetap dala jalur syari’ah.
Ketegasan beliau selalu  dirasakan oleh banyak kalangan, seperti saat penetapan hukum dalam suatu  munadharah, banyak kiai yang tercengang atas keputusannya.  Begitu juga ketika penetapan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawwal banyak  kaum muslimin yang memilih keputusannya dari pada pengumuman dari  pemerintah saat itu.
Walaupun mbah Tur  tergolong seorang yang sedikit bicara, beliau selalu menegaskan kepada  kaum muslimin dalam forum Jama’ah Jumu’ah ataupun forum pengajian rutin  dimana beliau mengajar saat masih aktif, yaitu amar ma’ruf nahi munkar  dengan menyampaikan kata-kata yang benar dan tepat.
Mbah Tur mengikat tali  keluarga dengan mempersunting seorang putri yang bernama Masni’ah (ibu  nyai Masni’ah) dan dikaruniai 10 orang putra-putri, namun yang meninggal  6 orang, kini tinggal 4 orang yaitu: KH. Khoiruzzad, Fihris, Naela  Laja, Drs. Sirril Wafa, MA dan meninggalkan 13 orang cucu ketika beliau  wafat.
Almarhum al  magfurillahu KH. Turaichan Adjuhri As-Syarofi adalah sosok ulama’  yang belum ada duanya di Kudus terutama dalam bidang ilmu falakiyah  (astronomi) dan ketegasannya dalam menentukan suatu hukum.
* Disunting dari majalah El-Qudsy PPQ  (persatuan Pelajar Qudsiyyah) Kudus edisi 8 tahun 2000









0 comments
Posts a comment