Tuesday, February 15, 2011

KH. TURAICHAN ADJUHRI AS-SYAROFI

ULAMA' AHLI ASTRONOMI KUDUS

khturaichan-kudus

Keagungan dan kemasyhuran ulama kharismatik dari Kudus, yang telah berpulang ke rahmatullah 20 Agustus 1999, KH. Turaichan Adjuhri As-Syarofi (Tadjus Syarof) begitu tinggi. Beliau ahli dalam ilmu syari’ah, khususnya pada ilmu fiqih namun lebih dari itu beliau juga ahli ilmu-ilmu falakiyah (astronomi), mulai dari penetatapn awal bulan hijriyyah, adanya gerhana, bahkan dapat mengetahui letak, warna, ukuran dan jarak bulan dari garis horisonatal bumi, dengan keahlian perhitungannya. Beliau juga mengetahui ilmu-ilmu perhitungan yang bernuasnsa Jawa (pranoto mongso)
itupun tidak sekedar tahu, melainkan sangat mahir. Namun beliau tidak ambil banyak manfaat pengetahuan pranoto mongso tersebut, melainkan hanya sebagai sarana pelengkap untuk menyusun almanak, hasil karyanya yang dicetak oleh penerbit dan percetakan Menara Kudus, yang hingga saat ini masih selalu diambil manfaatnya oleh banyak kalangan, bukan hanya di Kudus saja tapi sampai ke penjuru tanah air.
Mbah Tur, demikian sapaan akrab beliau lahir pada 10 Maret 1915 M di Damaran Kudus. Keturunan dari pasangan KH. Adjuhri dan Ibu Nyai Sukainah, mbah Tur dari kecil telah nampak sebagai sosok yang cerdas dan tegas. Hal itu terlihat ketika berusia kurang dari 15 tahun, tepatnya umur 13 tahun, mampu mengajar di kelas tingkat atas dengan penghormatan penuh dari santri-santrinya, tepatnya di madsarah TBS (Tasywiqut Thullab Salafiyah) Kudus. Bahkan sedari usia 15 tahun, beliau telah mewarnai muktamar-muktamar NU, dan sering beradu argumentasi dengan para kiai yang jauh lebih tua usianya terutama dalam analisis mengenai penetapan hukum yang hakiki dalam muktamar. Seperti halnya dengan KH. Bisri Syamsuri al marhum almagfurillah (Jombang) dan lain sebagainya
.
Banyak kalangan menyebut bahwa beliau adalah keturunan ke 16 Sayyid Ja’far Shodiq (Sunan Kudus). Namun dari pihak keluarga keberatan untuk menerangkan keabsahan masalah tersebut.
Tidak seperti ulama-ulama besar pada umumnya, mbah Tur dalam menempuh studi tidak pernah mondok di pesantren tertentu. Pendidikan formal beliau hanya sekolah di Madrasah TBS, itupun hanya berlangsung kira-kira 2 tahun, sekitar tahun 1928 M. tepatnya saat madrasah TBS berdiri, hingga tahun 1930 M. Sedangkan di luar jalur formal, beliau berguru kepada ulama-ulama Kudus, seperti kiai Fauzan (alm), Kiai Ma’shum (alm) ayah dari kiai Fauzan, Kiai Muslih (alm) yang merupakan akak dari kiai Amin said (alm) dan masih banyak guru-guru yang lain.
Kiprahnya bukan hanya dalam bidang sosial agama saja, melainkan juga dalam bidang sosial politik. Seperti dalam jajaran jam’iyyah NU, beliau pernah ditunjuk sebagai panitia ad hoc pusat, juga pernah sebagai Syuriah Cabang Kudus, bahkan pernah menjabat sebagai qodli (hakim) pusat dan juga di Kudus. Sekitar tahun 1955 M hingga tahun 1971 dalam jajaran pemerintahan.
Selain karir-karir di atas mulai dari mengajar, menjadi mustasyar dalam Muktamar NU, menjadi Tim Lajnah Falakiyah di NU beliau juga pernah ditunjuk sebagai tim Rukyah dan Hisab oleh Departemen Agama dalam penetapan awal bulan Hijriyyah yang akhirnya dilimpahkan kepada putra bungsunya Drs. Sirril Wafa, MA yang sedang menuntaskan studi untuk gelar doktornya di Jakarta. Amanat tersebut ditekuni oleh putranya hingga sekarang.
Dalam muktamar-muktamar NU, mbah Tur hampir tak pernah absen kecuali kalau ada udzur, namun akhir-akhir beliau sering tidak muncul karena alasan kesehatan. Di samping usia yang semakin lanjut, juga karena beda perspektif tentang perubahan asas tunggal NU dari asas ahlussunnah wal jama’ah menjadi asas tunggal Pancasila. Paska itu beliau tidak lagi aktif dalam kegiatan NU pusat, bahkan mbah Tur mengklaim pribadinya dengan istilah “lokalitas NU” artinya tetap konsis dalam jam’iyyah NU namun hanya bersifat lokal saja, di Kudus, dan tetap berideologi ahlussunnah wal jama’ah.
Sosok pendiam namun tegas tidak banyak dijumpai, itulah kepribadian mbah Tur, bahkan beliaupun tidak meninggalkan pesan ataupun wasiat khusus kepada keluarganya menjelang pulang ke rahmatullah. Dan selama masih hidup pun beliau tidak pernah memaksa keluarganya untuk menekuni profesi tertentu, bahkan memberikan kebebasan kepada putra-putrinya utuk menentukan pilihan asalkan tetap dala jalur syari’ah.
Ketegasan beliau selalu dirasakan oleh banyak kalangan, seperti saat penetapan hukum dalam suatu munadharah, banyak kiai yang tercengang atas keputusannya. Begitu juga ketika penetapan tanggal 1 Ramadhan dan 1 Syawwal banyak kaum muslimin yang memilih keputusannya dari pada pengumuman dari pemerintah saat itu.
Walaupun mbah Tur tergolong seorang yang sedikit bicara, beliau selalu menegaskan kepada kaum muslimin dalam forum Jama’ah Jumu’ah ataupun forum pengajian rutin dimana beliau mengajar saat masih aktif, yaitu amar ma’ruf nahi munkar dengan menyampaikan kata-kata yang benar dan tepat.
Mbah Tur mengikat tali keluarga dengan mempersunting seorang putri yang bernama Masni’ah (ibu nyai Masni’ah) dan dikaruniai 10 orang putra-putri, namun yang meninggal 6 orang, kini tinggal 4 orang yaitu: KH. Khoiruzzad, Fihris, Naela Laja, Drs. Sirril Wafa, MA dan meninggalkan 13 orang cucu ketika beliau wafat.
Almarhum al magfurillahu KH. Turaichan Adjuhri As-Syarofi adalah sosok ulama’ yang belum ada duanya di Kudus terutama dalam bidang ilmu falakiyah (astronomi) dan ketegasannya dalam menentukan suatu hukum.

* Disunting dari majalah El-Qudsy PPQ (persatuan Pelajar Qudsiyyah) Kudus edisi 8 tahun 2000

0 comments

Posts a comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 
© 2011 My Dreams
Designed by Blog Thiết Kế
Back to top